Surat TerbukaDari Papua (Perihal Kongres Dewan Kesenian VI di Port Numbay)


Tulisan ini sudah di muat di HU Pikiran Rakyat,
Bandung

Oleh VICTOR C. MAMBOR

SEBELUM diadakannya kongres, sebagai salah satu pribumi Papua yang berkesempatan mendapatkan pendidikan kesenian melalui institusi pendidikan (STSI Bandung dan ISI Yogyakarta) dan terlibat dalam
berbagai aktivitas kesenian di Bandung dan Jakarta, saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa pelaku seni budaya di Papua mengenai salah satu agenda kongres, yakni dibentuknya Dewan Kesenian Nasional.

Saya mencoba memaparkan realitas di luar Papua bahwa ruang/wilayah berkesenian di luar Papua, terutama di Jakarta, memiliki masalah yang jauh lebih kompleks dari kami di Papua. Masalah-masalah tersebut telah merambah sampai pada wilayah internal sehingga mengakibatkan konflik kepentingan dari para pelaku seni budaya itu sendiri. Ruang yang semakin sempit sementara populasinya terus meningkat telah membuat proses kreativitas para seniman dan budayawan di Jakarta terkotak-kotak dan berada di bawah kooptasi pihak-pihak yang menginginkan sebuah kedudukan yang mapan dalam wilayah seni dan budaya di Indonesia.

Mengapa saya merasa perlu untuk menyampaikan hal tersebut kepada rekan-rekan saya di Papua? Karena saya sangat menyadari bahwa peristiwa apapun yang bersifat nasional yang diselenggarakan di Papua selalu kental aroma politisnya. Kemudian, saya juga meyakini bahwa jika kongres tersebut diadakan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau daerah lainnya di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera, kemungkinan terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia atau apapun namanya, sangat kecil. Setidaknya akan melalui proses yang sangat alot, keras, dan mungkin deadlock.

Terakhir, ada ketakutan dalam diri saya bahwa orang Papua akan “ditunggangi” oleh sekelompok orang untuk kepentingan tertentu. Hal ini cukup beralasan karena sebagai komunitas seni yang jauh dari hingar bingar kesenian itu sendiri, apa yang menjadi isu-isu kesenian dan kebudayaan dalam skala nasional tidak pernah terdistribusikan kepada mereka. Dan ini terbukti. Selama berlangsungnya kongres, peserta dari Papua yang jumlahnya melebihi 50% yang hadir sangat antusias terhadap ide mendirikan Dewan Kesenian Indonesia tanpa ada satupun pandangan berbeda. Mereka masih terpaku pada hegemoni Jakarta. Tak salah jika Ignas Kleden yang hadir dalam kongres tersebut mengatakan ketakutannya jika apa yang direkomendasikan dalam kongres tersebut merupakan reaksi yang salah
terhadap kebebasan. Sama dengan yang diungkapkan Beni Giai bahwa Indonesia ini jadi sangat abstrak sekali jika sesuatunya harus melalui Jakarta.

Sekelompok orang yang pada kenyataannya telah gagal dalam upaya pelaksanaan kongres –mereka gagal melobi presiden untuk membuka kongres, gagal mendapatkan serupiah pun dana penyelenggaraan kongres, bahkan tidak mampu membuat seorang pejabat setingkat menteri hadir membuka kongres– namun memiliki kepentingan sangat besar untuk membentuk Dewan Kesenian Indonesia ini menyadari betul situasi kongres dan sangat lihai memainkan situasi tersebut. Dengan cerdik mereka menggunakan antusiasme orang Papua untuk mengintimidasi peserta yang berbeda pendapat dari daerah lain.

Dalam hal ini saya bukan mencoba melemparkan wacana menentang dibentuknya Dewan Kesenian Indonesia sebab bagaimanapun tetap dibutuhkan sebuah lembaga kesenian yang merupakan mitra pemerintah pusat. Saya hanya mengungkapkan kekecewaan saya terhadap sekelompok orang yang saya “baca” menggunakan orang Papua sebagai gerbong. Dan terlebih adalah perasaan sedih saya yang
mendalam karena pada kenyataannya, kami –orang Papua– membicarakan, merumuskan, dan memfasilitasi apa yang sebenarnya kami pun tidak paham. Kami hanya melihat ke depan tanpa memandang ke belakang. Yang terjadi kemudian bukanlah sebuah proses yang memetakan kesenian namun memetakan daerah-daerah.

Mengapa saya katakan kami tidak paham terhadap apa yang digumuli dalam kongres tersebut. Pertama,
sebagian besar peserta kongres dari Papua adalah peserta dari daerah tingkat II. Sehingga jangankan mendapatkan distribusi informasi/isu-isu kesenian dan kebudayaan dalam lingkup nasional, untuk lingkup
provinsi saja sulitnya bukan main. Bukankah ini juga menjadi persoalan yang selalu dikemukakan dalam musyawarah dewan kesenian?

Kedua, kultur berpikir yang terbentuk pada orang Papua yang selama ini mengalami ketidakadilan akhirnya menempatkan pemerintah pusat sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan di daerah. Dan, ketiga, semua aktivitas kesenian dan kebudayaan di Papua (yang dihadirkan untuk konsumsi publik) selalu didanai oleh pemerintah daerah atau pusat sehingga mengaburkan pandangan orang Papua terhadap prinsip kesenian yang menuntut otonomisasi dan prinsip birokrasi yang menuntut ketaatan.

Ketiga hal inilah yang sesungguhnya terjadi pada kami orang Papua, sehingga mengesampingkan apa sebenarnya substansi kebudayaan dan kesenian itu sendiri. Seluruh panitia pusat yang pada kenyataannya telah gagal dalam tugasnya sebagai panitia kongres —bahkan datang kurang dari 24 jam sebelum pelaksanaan kongres— sangat ngotot untuk masuk dalam komisi kelembagaan dalam kongres. Padahal ada dua komisi lainnya. Mengapa? Saya sendiri tidak bisa menjawab mengapa
mereka sangat ngotot ingin duduk di komisi tersebut. Yang saya tahu hanyalah masalah di kota seperti
Jakarta, ruang berkeseniannya semakin sempit sementara populasinya terus meningkat sehingga bisa memaksa orang untuk membuat ruang baru untuk terus mempertahankan kemapanannya. Sehingga menghadirkan sebuah lembaga baru sebagai upaya menjaga kemapanan mereka dalam berkesenian bisa jadi hal yang rasional.

Satu peristiwa yang sangat mengejutkan saya pada saat kongres berlangsung adalah saat perdebatan cukup panas mengenai penting atau tidak dibentuknya Dewan Kesenian Indonesia, tiba-tiba seorang peserta kongres dari Papua mengancam akan memalang (menutup) Bandara Sentani jika ide membentuk Dewan Kesenian Indonesia ini tidak direkomendasikan oleh kongres. Hampir seluruh peserta kongres dari Papua bersorak sementara peserta lainnya dari luar Papua terdiam. Anggota steering committee yang masih berada di depan peserta kongres tertawa.

Posisi saya yang berada jauh di belakang melihat dengan jelas bahwa beberapa anggota steering committee tengah bertindak sebagai sutradara bagi sebagian besar peserta kongres dari Papua.

Belakangan ini, palang-memalang (istilah orang Papua dalam memblokir sebuah lokasi) merupakan senjata ampuh bagi kami di Papua dalam memperjuangkan hak kami yang dirampas. Dan ini biasanya berhubungan dengan hak ulayat. Palang-memalang selalu melibatkan benda secara fisik dan selalu terjadi setelah sebuah peristiwa terjadi lebih dulu. Misalnya sebuah gedung didirikan di sebuah lokasi tanpa proses pelepasan tanah secara adat sekalipun tanah tersebut bersertifikat.

Pemalangan tidak pernah dan tidak dibenarkan terjadi untuk sebuah peristiwa yang baru sampai pada tahap ide/gagasan. Dan yang paling penting, karena pemalangan berhubungan erat dengan hak ulayat
masyarakat Papua, maka pemalangan harus melalui mekanisme adat orang Papua. Bukan diputuskan oleh seseorang. Saking ampuhnya aksi pemalangan ini maka seringkali aksi ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk mengintimidasi sekelompok orang lainnya.

Apa yang terjadi dalam kongres tersebut sesungguhnya bertentangan dengan norma-norma adat orang Papua. Sebagai orang Papua, saya mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi karena aksi tersebut.

Pada akhirnya, kita harus memandang rekomendasi yang dihasilkan dalam kongres adalah suatu proses mufakat. Sebuah proses lanjutan dari Musyawarah Dewan Kesenian V di Yogyakarta, 3-6 Maret 1999. Kongres dewan kesenian di Port Numbay ini telah melahirkan tim formatur yang akan membentuk kepengurusan Dewan Kesenian Indonesia. Pertanyaannya, apakah nantinya tim formatur ini bisa melepaskan kebiasaan kita menempatkan ketua tim formatur sebagai ketua badan pengurus seperti yang seringkali terjadi dalam pembentukan ormas dan partai politik? Sanggupkah nantinya dua anggota steering committee yang diutus menjadi anggota tim formatur diberikan kepada Dewan Kesenian selain Dewan Kesenian Jakarta?

Terakhir, sekalipun dalam kongres dikatakan Dewan Kesenian Indonesia ini dibentuk untuk difungsikan
sebagai lembaga komunikasi dan informasi tanpa sistem hierarki antara pusat dan daerah, apakah ini bisa menciptakan nuansa baru bagi permasalahan dewan kesenian di daerah, antara dewan kesenian provinsi dan kabupaten/kota? Karena faktanya, dalam setiap penyelenggaraan musyawarah dewan kesenian, persoalan hirarkhi antara provinsi dan kabupaten/kota yang selalu dikemukakan.***

Penulis
Dosen FKIP Universitas Cendrawasih

One comment